Perbedaan Sastra dan filsafat
Hubungan sastra dan filsafat laksana
dua sisi mata uang; permukaan yang satu tidak dapat dipisahkan dari
permukaan yang lainnya; bersifat komplementer, saling melengkapi.
Masalahnya, karya sastra membicarakan dunia manusia. Demikian juga
filsafat, betapapun penekanannya pada usaha unutuk mempertanyakan
hakikat dan keberadaaan manusia, sumbernya tetap bermuara pada manusia
sebagai objeknya. Jika demikian apakah apakah kemudian itu berarti
karya sastra identik dengan filsafat? Tentu saja tidak. Mengapa tidak?
Di mana pula letak persamaan dan perbedaannya? Justru dalam hal itulah
hubungan sastra dengan filsafat lalu melahirkan masalah sendiri.
Secara
asasi, baik karya sastra maupun filsafat, sebenarnya merupakan
refleksi pengarang atas keberadaan manusia. Hanya, jika karya sastra
merupakan refleksi evaluatif, maka filsafat merupakan refleksi kritis.
Apa yang diungkapkan filsafat adalah catatan kritis yang awal dan
akhirnya ditandai dengan pertanyaan radikal yang menyangkut hakikat dan
keberadaan manusia. Itulah, di antaranya, yang membedakan karya sastra
dan filsafat.
* * *
* * *
Masalah
hubungan sastra dan filsafat sesungguhnya bukanlah masalah baru. Sejak
manusia mengenal cerita-cerita mitologis, sejak iu pula sesungguhnya
hubungan sastra dengan filsafat — dalam pengertian yang lebih luas —
sulit dipisahkan. Apakah cerita klasik macam Bhagawad Gita,
Mahabharata, Ramayana, Epos Ilias dari Homerus, kisah Dewi Matahari
Jepang. Ameterasu, karya sastra atau karya filsafat; karya filsafat yang
disuguhkan dalam bentuk karya sastra, atau karya sastra yang berisi
ajaran-ajaran filsafat?
Dalam
khazanah sastra Indonesia, meski karya-karyanya belum dapat
disejajar-kan dengan mitologi-mitologi tersebut, nama-nama Nuruddin
Ar-Raniri, Syamsuddin As-Samatrani, Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji atau
Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang), dikenal sebagai tokoh sufi yang
ajaran tasawufnya (:filsafat) disampaikan le-wat puisi-puisi atau
cerita-cerita simbolik. Munculnya istilah sastra sufi beberapa wak-tu
lalu, juga sebenarnya bersumber dan mengacu pada karya-karya tokoh
tasawuf itu.
Jika
kita menarik karya-karya mereka jauh ke belakang, maka kita juga akan
menemukan begitu banyak ajaran tasawuf (:filsafat islam) yang justru
disampaikan dalam bentuk karya sastra. Sebut saja misalnya, karya
Rabiah al-Adawiyah, penyair sufi wanita yang konon wafat tahun 752 (?),
Al-Hallaj (828-921), Fariduddin Attar (1117-1234), Ibn Thufail
(1106-1185) atau Sa’di Jalaluddin Rumi (1207-1270).
Di
dunia Barat, juga sudah sejak lama mitologi Yunani klasik menjadi
sumber ilham yang tak ternah habis-habisnya digali, baik untuk bidang
filsafat, maupun sastra. Bahkan hingga kini tidak sedikit sastrawan di
sana yang memuat semacam karya transformasi yang bersumber dari mitologi
Yunani itu. Dalam perkembangannya kemudian, sejalan dengan munculnya
berbagai macam aliran filsafat (Barat), muncul pula sejumlah filsuf yang
menyampaikan gagasan filsafatnya lewat karya sastra. Dalam hal ini,
karya sastra dijadikan sebagai ‘alat’ untuk mengukuhkan gagasan filsafat
yang hendak disampaikannya.
Sekadar
menyebut beberapa di antaranya, periksa misalnya karya-karya Vol-taire
(1694-1778). Lewat novel-novelnya, L’Ingenu (Si Lugu), Candide, dan
Zadig, Voltaire secara satiris hendak mengejek filsafat Leibniz
(1646-1716), terutama yang menyangkut filsafat deisme. Begitu pula
Friedrich Nietzsche (1844-1900) lewat The Spoke Zarathustra-nya,
menampilkan tokoh Zarathustra sebagai simbol manusia ung-gul
(uebermensch) yang dicita-citakan Nietzsche agar memperoleh kebebasan
mutlak. Dalam dunia filsafat, ia dipandang sebagai filsuf
eksistensialisme yang paling radikal.
Tokoh
lain yang dianggap sebagai penganjur filsafat eksistensialisme yang
juga menyampaikan gagasan filsafatnya lewat karya sastra, antara lain
Albert Camus (1913-1960) dan Jean Paul Sartre (1905-1980). Gagasan
filsafat eksistensialisme yang disam-paikan Sartre terdapat pada
karya-karya pentingnya yang berupa novel, antara lain, La Nausee (Rasa
Muak) dan Les Chemins de la Liberte (Jalan-jalan Kebebasan), serta karya
drama Les Mouches (Lalat-lalat) dan Huis Clos (Pintu-pintu tertutup).
Hal
yang sama juga dilakukan Albert Camus. Betapapun Camus sebenarnya
lebih dikenal sebagai sastrawan daripada filsuf, lewat La Peste
(Sampar) dan L’Etranger (Orang Asing), ia juga bermaksud mempertegas
gambaran dirinya sebagai sosok eksistensialis dalam berhadapan dengan
kehidupan yang absurd.
Dalam
filsafat islam, di samping tokoh-tokoh yang disebut terdahulu,
Mohammad Iqbal (1873-1938) juga dikenal sebagai tokoh pemikir (:filsuf)
Islam yang salah satu karya filsafatnya ditulis dalam bentuk puisi.
Melalui puisi-puisi Parsi-nya yang panjang, sebagaimana yang tertuang
dalam magnum opus-nya yang monumental, Javid Namah, Iqbal menyampaikan
kritik pedasnya terhadap filsafat Barat dan pemi-kiran Islam
tradisional. Di samping itu juga, ia juga menekankan pentingnya
progresi-vitas dalam sikap dan pemikiran generasi muda Islam. Dalam hal
itulah, pengembaraan rasio untuk memperkukuh keimanan Islami, mutlak
ditumbuhkembangkan.
Tentulah
kita masih dapat menyebut sejumlah karya sastra lainnya yang secara
tematik memperlihatkan gagasan filsafat tertentu yang dianut atau yang
sengaja diso-dorkan pengarangnya. Hal tersebut tidak hanya mempertegas,
betapa sastra dan filsafat begitu erat hubungannya, tetapi juga tidak
sedikit filsuf yang secara sadar menyam-paikan gagasan filsafatnya
dengan mengemasnya ke dalam bentuk karya sastra.
Sungguhpun
demikian, harus diakui pula, bahwa di antara karya-karya sastra yang
sejenis itu, ada yang cenderung lebih berat ke filsafat daripada ke
karya sastranya, atau sebaliknya, atau juga kedua-duanya. Karya-karya
Camus, Sartre atau Iqbal, dapatlah kita masukkan karya sastra yang
sarat bermuatan gagasan filsafat. Dalam kesusastraan Indonesia modern,
karya yang semacam ini kita temukan pada novel-novel Iwan Simatupang
(Ziarah), Danarto (Godlob), Sutan Takdir Alisjahbana (Grotta Azzura),
Budi Darma (Rafilus) atau Kuntowijoyo (Khotbah di atas Bukit).
Dalam
konteks itu, perlu diingatkan bahwa gagasan filsafat yang dibungkus ke
dalam kemasan sastra, tetaplah mesti ditempatkan sebagai karya sastra.
Artinya, bahwa karya itu tidak dapat begitu saja meninggalkan konvensi
kesastraannya. Gagasan filsafat yang terkandung dalam karya itu
seyogianya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari unsur-unsur
kesastraan lainnya. Dengan demikian, gagasan filsafat itu akan lebur
menjadi salah satu unsur yang justru ikut membangun nilai-nilai
estetika karya bersangkutan.
Kecenderungan
sastrawan yang terbawa oleh hasrat besarnya untuk berfilsafat dan
mengabaikan nilai estetika kesastraan, akan tergelincir jatuh pada
karya yang lebih dekat ke karya filsafat daripada ke karya sastra.
Akibatnya, karya itu akan kehilangan daya tarik dan gregetnya sebagai
karya sastra, karena ia lebih mementingkan gagasan filsafatnya daripada
nilai estetiknya. Karya Sutan Takdir Alisjahbana, Grotta Azzura,
misalnya, merupakan contoh betapa karya itu menjadi kurang menarik
karena Alisjhbana lebih menekankan dialog-dialog panjang mengenai
filsafat daripada kepaduan unsur-unsur novel itu sebagai kesatuan
estetik. Dengan demikian karya itu — boleh jadi — lebih tepat
ditempatkan sebagai karya filsafat daripada karya sastra.
Begitulah, betapapun karya
sastra berbeda dengan filsafat, dalam semua karya sastra — yang bermutu
— akan selalu terkandung nilai-nilai filsafat, entah menyangkut sikap
dan pandangan hidup tokoh yang digambarkannya atau tema karya sastra
itu sendiri. Semakin bermutu karya sastra itu, semakin mendalam pula
kandungan filsafat-nya. Oleh sebab itu, dalam karya sastra yang agung,
nilai-nilai filsafat yang dikandung-nya akan terasa lebih mendalam dan
kaya. Sangat wajar jika kemudian orang mencoba mencari nilai-nilai
filsafat pada karya sastra yang agung, dan bukan pada karya sastra
picisan
Sumber : http://urangsenyerang.blogspot.com/2011/02/perbedaan-sastra-dan-filsafat.html
No comments:
Post a Comment